Kriteria Perjanjian yang Sah menurut KUHPerdata
Apapun kondisinya, hak keperdataan seseorang tidak akan pernah lepas dari dirinya. Hak ini sudah melekat pada diri manusia sejak ia masih dalam kandungan sebagaimana Pasal 2 KUHPerdata menyatakan “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.” Layaknya Hak Asasi Manusia yang selalu melekat dan tidak boleh ada satu manusia yang mengambil hak tersebut, hal serupa juga terjadi dalam hukum keperdataan di Indonesia. Lekatan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 KUHPerdata menjelaskan bahwa tiada hukuman apapun yang dapat mengakibatkan kematian perdata seseorang. Dengan demikian, terpidana mati pun masih dapat melakukan hubungan keperdataan dengan orang lain bila terpidana tersebut menghendakinya.
Tentunya bila kita membahas mengenai apa saja yang tercakup dalam hukum perdata akan luas sekali cakupan yang dapat terbendung. Karenanya, kita akan membahas cakupan tersebut satu-persatu dimulai dari yang paling umum dilakukan oleh seseorang dengan yang lain, sebuah perjanjian.
KBBI merumuskan perjanjian sebagai persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Definisi tersebut sejalan dengan definisi yang diutarakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Namun, tidak semata-mata dengan seseorang telah melakukan kesepakatan menjadikan perjanjian antara mereka adalah sah. Secara gamblang, Pasal 1320 KUHPerdata merincikan unsur yang wajib terpenuhi agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pasal tersebut menyatakan demikian.
“Untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.”
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat yang dimaksud dalam kalimat tersebut yakni para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Daniel V. Davidson dalam bukunya Comprehensive Business Law, Principles, and Cases terbitan tahun 1987 menyampaikan “Without mutual assent, there can be no agreement.” Penyampaian Davidson sepaham dengan pemaknaan kata sepakat yang terdapat dalam Pasal 1321 KUHPerdata berbunyi “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Berikut rincian perbuatan yang menegasikan kata sepakat itu sendiri.
Kekhilafan. Agus Sardjono dalam bukunya Pengantar Hukum Dagang terbitan tahun 2014 membagi kekhilafan menjadi dua bagian; kekhilafan subjek dan kekhilafan objek. Kekhilafan subjek dapat dimisalkan berikut; seseorang menunjuk senior lawyer untuk mewakilinya di pengadilan. Namun, karena ketidaktahuannya ia menunjuk seorang lawyer yang masih menjadi trainee melalui surat kuasanya. Sebaliknya, trainee (lawyer) tersebut tidak mengetahui bahwa yang diinginkan oleh kliennya ialah seorang senior lawyer.
Di sisi lain, kekhilafan objek yakni kekhilafan yang terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang dimaksudkan oleh para pihak. Kekhilafan objek dapat dimisalkan sebagai berikut; seseorang yang membeli tas branded asli ternyata membeli tas replika akibat ketidaktahuannya dan pihak penjual pun mengira bahwa yang ingin dibeli ialah memang tas replika.
Paksaan. Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata terbitan tahun 1992 mendefinisikan paksaan sebagai kondisi saat seseorang menyetujui sebuah perjanjian karena adanya ancaman atau paksaan. Deskripsi mengenai paksaan lebih lanjut dapat ditilik dari Pasal 1323 KUHPerdata hingga Pasal 1327 KUHPerdata.
Penipuan. Agus Sardjono, dalam buku yang sama, merumuskan penipuan yakni ketika salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian memberikan keterangan palsu disertai dengan tipu daya (Perbuatan penipuan dapat dikenakan sanksi pidana yang termuat dalam Pasal 378 KUHP).
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Semua orang dikatakan cakap untuk membuat suatu perjanjian atau perikatan selama Ia tidak termasuk orang-orang yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang berbunyi berikut.
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang.” (ketentuan ini dihapus melalui Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA №3 Tahun 1963).
Orang-orang yang belum dewasa. Orang yang belum dewasa tidak dapat dikatakan cakap untuk melakukan suatu perjanjian karena dinilai belum mampu untuk memahami tindakan dan akibat hukum yang diperbuatnya. Mengenai kedewasaan seseorang, banyak sekali variasi produk hukum yang mengatur usia dan kondisi yang berbeda-beda untuk mengatakan seseorang adalah dewasa. Namun, dalam hal ini kita akan berpatokan pada Pasal 330 KUHPerdata berbunyi “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.”
Meski orang yang belum dewasa tidak dapat melakukan perjanjian, hal tersebut tidaklah mustahil. Hukum perdata mengenal istilah pendewasaan. Pendewasaan ini yakni seseorang yang belum dewasa, dinyatakan telah dewasa oleh pengadilan sehingga telah memegang hak-hak kedewasaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 419 KUHPerdata. Pendewasaan terbagi kembali menjadi dua; pendewasaan sempurna dan pendewasaan terbatas.
Pendewasaan sempurna
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan dalam buku Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht) terbitan tahun 1991, pendewasaan sempurna yakni pendewasaan yang meniadakan keadaan minderjarigheid atau perwalian untuk keseluruhan. Pendewasaan sempurna diperoleh melalui surat-surat pernyataan dewasa atau venia aetatis yang diberikan oleh presiden setelah mendengar nasehat Mahkamah Agung sesuai apa yang telah dirujuk dalam Pasal 420 KUHPerdata. Cara untuk memperoleh vania aetatis antara lain dengan mengajukan surat permintaan akan pernyataan tersebut kepada presiden yang telah dilampiri akta kelahiran atau bukti sah lainnya yang menunjukkan bahwa pemohon telah genap berusia dua puluh tahun.
Pendewasaan terbatas
Masih dengan referensi yang sama, pendewasaan terbatas berarti pendewasaan yang terbatas untuk hal-hal tertentu. Pendewasaan terbatas diberikan untuk memberikan hak-hak tertentu seperti yang dimiliki orang yang sudah dewasa (meerdejarig) antara lain berikut.
a. Penguasaan bebas atas penghasilannya sendiri;
b. Membuat perjanjian sewa-menyewa;
c. Penguasaan dan penanaman tanahnya sendiri (ladang, sawah, perkebunan);
d. Pengurusan perusahaan;
e. Menjalankan usaha kerajinan tangan (memahat, melukis, dan sebagainya);
f. Ikut serta dalam pendirian pabrik;
g. Mendirikan pabrik sendiri; dan
h. Usaha dagang tertentu.
Untuk meminta pendewasaan ini, pihak yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya sebagai tanda bahwa pemohon telah genap berusia delapan belas tahun. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberi ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tentu saja sesuai dengan yang dimohonkan.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Pengampuan adalah keadaan seseorang (curandus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Orang tersebut akan diberi wakil menurut Undang-undang yang disebut Pengampu (curator).
Terdapat empat kriteria orang yang berada di bawah pengampuan; dungu, sakit otak, mata gelap, dan boros.
Dungu
Menurut KBBI, dungu adalah sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.
Sakit otak
Menurut KBBI, sakit otak dapat diartikan sebagai gila yang berarti sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal).
Mata gelap
Menurut KBBI, mata gelap adalah tidak dapat berpikir terang; mengamuk (karena marah sekali).
Boros
Menurut KBBI, boros adalah berlebih-lebihan dalam pemakaian uang, barang, dan sebagainya. Berbeda dengan dungu, sakit otak, dan mata gelap yang memang merupakan hal mutlak seseorang diletakkan di bawah pengampuan, orang yang boros tidaklah mutlak diletakkan di bawah pengampuan, tetapi dapat dimintakan kepada pengadilan.
Adapun rang yang berhak meminta pengampuan adalah keluarga sedarah untuk orang dengan kriteria dungu, sakit otak, dan mata gelap. Di sisi lain, permohonan pengampuan karena boros dapat dimintakan keluarga sedarah atau garis samping hingga derajat keempat. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bagi seseorang yang merasa tidak cakap untuk mengurus kepentingannya sendiri untuk memintakan pengampuan oleh dan untuk mereka sendiri. Untuk penjelasan lebih lengkap, ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 434 KUHPerdata.
Suatu hal tertentu
Kata hal dalam kalimat ‘suatu hal tertentu’ memiliki arti kebendaan. Definisi kebendaan itu sendiri terkandung dalam Pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi “Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.” Namun, dewasa ini objek perjanjian tidak hanya meliputi benda, tetapi jasa. Adanya suatu hal tertentu dipertegas kembali di Pasal 1333 yang berbunyi “(a) Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. (b) Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Kebendaan itu sendiri terbagi menjadi dua macam; kebendaan bergerak dan tidak bergerak.
Kebendaan bergerak
Menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, misalnya barang perabot rumah tangga.
Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik atau hak pakai hasil dari suatu benda yang bergerak, lijfrenten (anuitas), surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya.
Contoh benda bergerak karena sifatnya dapat dimisalkan seperti hewan ternak, kendaraan, dan sebagainya (Pasal 519 KUHPer) sedangkan contoh benda bergerak karena penetapan undang-undang yakni (1) hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak, (2) hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan, (3) penagihan-penagihan atau piutang-piutang, dan (4) saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang (Pasal 511 KUHPerdata
Benda tidak bergerak
Subekti menjelaskan bahwa suatu benda digolongkan benda tidak bergerak karena tiga hal; sifatnya, tujuan pemakaiannya, dan ditentukan oleh undang-undang. Benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu (Contoh: sebidang pekarangan termasuk apa yang ada dalam tanah, yang dibangun diatasnya secara tetap (rumah), dan yang ditanam di tanah tersebut (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil).
Benda yang tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya adalah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik.
Terakhir, benda tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang seperti segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.
Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal telah diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata berbunyi “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.” Berikut adalah elaborasi lebih dalam dari sebab yang dilarang.
Perjanjian yang sebabnya dilanggar undang-undang. Misalnya perjanjian jual beli hewan langka. Sebab ini dilarang oleh UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Perjanjian yang sebabnya melanggar ketertiban umum.Misalnya perjanjian kerja antara seorang konglomerat dan preman untuk menghajar setiap pesaing usahanya dalam berbisnis. Hal ini akan menimbulkan kericuhan terhadap aksi preman dan perasaan khawatir masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh preman tersebut.
Perjanjian yang sebabnya melanggar kesusilaan. Misalnya perjanjian kerja untuk membuat film pornografi untuk dijual kepada masyarakat.
Itulah syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk menjadikan sebuah perjanjian sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penting diketahui bahwa apabila angka 1 dan angka 2 dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Maksudnya adalah perjanjian tersebut masih tetap berlaku kecuali dimintakan pembatalan baik melalui persetujuan kedua belah pihak maupun keputusan pengadilan, tetapi hal ini harus dimintakan atau diusahakan. Angka 1 dan angka 2 dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinamakan unsur subyektif.
Kontras, apabila angka 3 dan angka 4 dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Maksudnya adalah tanpa perlu meminta pembatalan, perjanjian tersebut sudah dianggap tidak pernah ada.